"Kita Kok Bisa Nikah ya?"

Post Wedding Nanda & Jamal
Photo by Indie Imaji
“Kita kok bisa nikah ya?”

Kalimat seperti itu seringkali menjadi topik hangat saya dan suami dalam 6 bulan pertama pernikahan kami ini. Saya pribadi hampir tidak menyadari proses bagaimana kami menyepakati untuk menikah, lamaran, penentuan tanggal, persiapan ini-itu dan segala macamnya. Semuanya terjadi begitu cepat.

Saya sering masih merasa gadis dan “sendiri”. Sendiri bukan berarti kesepian, karena kesepian hanya untuk mereka yang lemah dan membosankan. Eaak..eaakk..

Sendiri maksudnya independent. Sering ngambil keputusan sendiri dan siap nanggung resiko sendiri. Dulu, setiap ada pilihan, saya yang punya kendali untuk memutuskannya, toh ini hidup saya dan saya yang menjalaninya. Setelah nikah, setiap ada pilihan harus di diskusikan demi kemaslahatan Rumah Tangga.

Diskusi juga seringkali panjang, karena perbedaan karakter kami. Saya merupakan pribadi yang cuek dan selo, sedangkan suami saya merupakan orang yang detail dan perfeksionis. Ia sering mempertimbangkan hal yang belum tentu terjadi, misal:

1.    Kemungkinan Resiko
“Mau ke laut? Gimana kalo nanti angin kencang, hujan, basah kuyup, nanti sakit”. Sedangkan saya tidak mau ambil pusing akan hal itu, karena motto hidup saya “hidup untuk hari ini, untuk hidup besok nanti kita pikir lagi”
2.    Manfaat
“Ngapain ke laut, emang ada apa disana, apa manfaat ke laut?” Duh!
Setiap keputusan yang saya buat, pertimbangannya hanya karena azas “suka”. Suka aja ke pantai, suka aja liat ombak, suka aja suasananya, suka aja karena anginnya sepoi-sepoi. That’s it!

Awalnya sempat KZL karena pola pikir dan karakter yang bertolak belakang. Then I realize, there are lessons I should learn from him. Belajar tentang perhitungan kemungkinan resiko dan manfaat.

Karena setelah menikah, kita tidak hanya hidup untuk diri sendiri, tapi juga pasangan. Kalo saya kenapa-kenapa, kan suami juga yang repot dan ia harus bertanggung jawab untuk resiko saya, begitu juga sebaliknya.

Karena setelah menikah, kita harus punya prioritas. Kita masih bisa terlibat aktif dalam berbagai kegiatan, mejeng, santai, tapi ada hal lain yang harus dipertimbangkan: waktu untuk pasangan, kestabilan keuangan, tanggung jawab sebagai istri/suami, tugas rumah tangga, dll.

Enam bulan pertama pernikahan ini, cukup memberi banyak inspirasi hidup.
Inspirasi tentang bagaimana cinta dapat mengubah sudut pandang saya sebagai perempuan yang cuek dan santai menjadi pribadi yang mulai mempertimbangkan tanggung jawab. Tentang bgaimana suatu hubungan dapat memberi pelajaran tentang kebebasan beraktifitas dan pentingnya skala prioritas. Tentang bagaimana menghargai pendapat pasangan, dan menyikapi perbedaan karakter. Tentang perubahan positif juga. Thanks Life, Lesson Learned!

Komentar

Postingan Populer